Latar Belakang
Perang
salib berlangsung selama kurang lebih dua abad,di
mulai dari perang salib I sampai perng salib IX yaitu dari tahun 1095-1291.
Perang Salib adalah penyerangan dari kefanatikan Kristen yang dikoordinir oleh Paus
yang mempunyai tujuan untuk merebut kota suci Palestina dari tangan kaum
Muslimin. Selain itu, perang ini yang
disebabkan oleh beberapa factor lain
yakni faktor agama,politik,sosial-ekonomi. Peristiwa ini merusak
hunbungan antara dunia Timur dan dunia Barat khususnya antara agama islam dan
kristen. Penyerbuan yang berjalan selama dua abad lamanya memakan korban baik
jiwa maupun harta dan kebudayaan yang tidak sedikit banyaknya.Selain itu,masih
banyak lagi dampak dari perang salib ini.
Dalam penyebaran
pasukan Salib terhadap umat Islam, menjadi fenomena yang disertai timbulnya
sentimen keagamaan yang kuat. Dengan adanya motif ini, maka membawa pengaruh
besar terhadap hubungan antar pemeluk agama Islam dan Kristen dalam waktu yang
panjang. Melihat dari beberapa gambaran yang ada maka dapat disimpulkan bahwa,
meskipun Perang Salib sudah berakhir namun pada hakekatnya belum berakhir, hal
ini karena adanya perkembangan-perkembangan selanjutnya, yang walaupun tidak
dalam bentuk yang lain, yang sekaligus merupakan suatu hubungan yang sulit
untuk dipisahkan.
A.
SEBAB-SEBAB TERJADINYA PERANG SALIB
Beberapa faktor
yang menyebabkan terjadinya perang salib, yaitu :
1.
Faktor Agama
Direbutnya
Baitul Maqdis (471 H) oleh Dinasti Seljuk dari kekuasaan Fathimiyah yang
berkedudukan di Mesir menyebabkan kaum Kristen merasa tidak bebas dalam
menunaikan ibadah di tempat sucinya. Ketika idealisme keagamaan mulai menguap,
para pemimpin politik Kristen tetap saja masih berfikir keuntungan yang dapat
diambil dari konsepsi mengenai Perang Salib, dan untuk memperoleh kembali
keleluasaannya berziarah ke tanah suci Yerussalem. Pada tahun 1095 M, Paus
Urbanus II berseru kepada umat Kristiani di Eropa supaya melakukan perang suci.
Seruan Paus Urbanus II berhasil memikat banyak orang-orang Kristen karena dia
menjanjikan sekaligus menjamin, barang siapa yang melibatkan diri dalam perang
suci tersebut akan terbebas dari hukuman dosa.
2.
Faktor Politik
Kekalahan
Byzantium (Constantinople/Istambul) di Manzikart pada tahun 1071 M, dan
jatuhnya Asia kecil dibawah kekuasaan Saljuk telah mendorong Kaisar Alexius I
Comneus (kaisar Constantinople) untuk meminta bantuan Paus Urbanus II, dalam
usahanya untuk mengembalikan kekuasaannya di daerah-daerah pendudukan Dinasti
Saljuk. Dilain pihak Perang Salib merupakan puncak sejumlah konflik antara
negara-negara Barat dan negara-negara Timur, maksudnya antara umat Islam dan
umat Kristen. Dengan perkembagan dan kemajuan yang pesat menimbulkan kecemasan
pada tokoh-tokoh Barat, sehingga mereka melancarkan serangan terhadap umat
Islam. Situasi yang demikian mendorong penguasa-penguasa Kristen di Eropa untuk
merebut satu-persatu daerah-daerah kekuasaan Islam, seperti Mesir, Yerussalem,
Damascus, Edessca dan lain-lainnya.
3.
Faktor Sosial – Ekonomi
Semenjak
abad ke X, kaum muslimin telah menguasai jalur perdagangan di laut tengah, dan
para pedagang Eropa yang mayoritas Kristen merasa terganggu atas kehadiran
pasukan muslimin, sehingga mereka mempunyai rencana untuk mendesak kekuatan
kaum muslimin dari laut itu. Hal ini didukung dengan adanya ambisi yang luar
biasa dari para pedagang-pedagang besar yang berada di pantai Timur laut tengah
(Venezia, Genoa dan Piza) untuk menguasai sejumlah kota-kota dagang di
sepanjang pantai Timur dan selatan laut tengah, sehingga dapat memperluas
jaringan dagang mereka, Untuk itu mereka rela menanggung sebagian dana Perang
Salib dengan maksud menjadikan kawasan itu sebagai pusat perdagangan mereka,
karena jalur Eropa akan bersambung dengan rute-rute perdagangan di Timur
melalui jalur strategis tersebut. Disamping itu stratifikasi sosial masyarakat
Eropa ketika itu terdiri dari tiga kelompok, yaitu :
1. kelompok agamawan,
2. kelompok ahli perang, dan
3. kelompok petani dan hamba sahaya.
Dua
kelompok pertama merupakan kelompok minoritas yang secara keseluruhan merupakan
institusi yang berkuasa dipandang dari segi sosial-politik yang aristokratis,
sedangkan kelompok ketiga merupakan mayoritas yang dikuasai oleh kelompok
pertama dan kedua, yang harus bekerja keras terutama untuk memenuhi kebtuhan
kedua kelompok tersebut. Karena itu, kelompok ketiga ini secara spontan
menyambut baik propaganda perang Salib. Bagi mereka, kalaupun harus mati, lebih
baik mati suci daripada mati kelaparan dan hina, mati sebagai hamba. Kalau
bernasib baik, selamat sampai ke Bait al-Maqdis, mereka mempunyai harapan baru:
hidup yang lebih baik daripada di negeri sendiri. Kedua, sistem
masyarakat feodal, selain mengakibatkan timbulnya golongan tertindas, juga
menimbulkan konflik sosial yang merujuk kepada kepentingan status sosial dan
ekonomi, seperti berikut :
1.
Sebagian bangsawan Eropa bercita-cita, dalam kesempatan
perang Salib ini, mendapat tanah baru di Timur. Hal ini menarik mereka karena
tanahtanah di Timur subur, udaranya tidak dingin, dan harapan mereka bahwa
tanah itu aman di banding dengan di Eropa yang sering terlibat peperangan satu
sama lain. Dalam proses perang Salib nanti akan nampak bahwa dorongan ini
merupakan faktor terlemah tentara Salib karena timbul persaingan bahkan
konflik.
2.
Undang-undang masyarakat feodal mengenai warisan
menyebabkan sebagian generasi muda menjadi miskin karena hak waris hanya
dimiliki anak sulung. Dengan mengembara ke Timur, melalui perang Salib,
anak-anak muda ini berharap akan memiliki tanah dan memperoleh kekayaan.
3.
Permusuhan yang tak kunjung padam antara
pembesar-pembesar feodal telah melahirkan pahlawan yang kerjanya hanya
berperang. Kepahlawanan dalam berperang adalah kesukaan mereka. Ketika
propaganda perang Salib dilancarkan, mereka bangkit hendak menunjukan
kepahlawanannya. Kepahlawanan mereka selama ini disalurkan melalui olahraga
sehingga mereka kurang memperoleh kepuasan.
4.
Besarnya kekuasaan Paus pada abad pertengahan, yang
nampak dari ketidakberdayaan raja untuk menolak permintaan Paus. Kalau raja
menolak, ia dikucilkan oleh gereja yang mengakibatkan turunnya wibawa raja di
mata rakyat. Hal ini terbukti ketika raja Frederik II terpaksa turut berperang
dengan membawa tentara yang sedikit, dan membelok ke Syam ketika ia seharusnya
memberikan bantuan ke Mesir (Dimyat). Ia tidak bersemangat untuk berperang. Ia
menghubungi Sultan al-Malik al- Kamil
untuk menerangkan posisinya bahwa ia tidak membawa misi suci (dorongan
gereja). Karena itu, ia memintanya untuk
menjaga rahasianya (menipu Paus) agar tidak diketahui orang Jerman.
B.
FASE-FASE PERANG SALIB
1.
Perang Salib I (1095-1099 M)
Periode pertama Perang Salib disebut sebagai periode penaklukan.
Jalinan kerja sama antara Kaisar Alexius I dan Paus Urbanus II, berhasil
membangkitkan semangat umat Kristen, terutama akibat pidato Paus Urbanus II,
pada consili clermont pada tanggal 25 November 1095, pada saat itu Paus Urban
II mengatakan “Orang-orang Turki adalah ras yang terkutut, ras yang
sungguh-sungguh jauh dari Tuhan, orang-orang yang hatinya sungguh tidak
mendapat petunjuk dan jiwanya tidak diurus Tuhan. Membunuh para monster ini
adalah tindakan suci, orang Kristen wajib memusnahkan ras keji ini dari negeri
kita.” Sambutan terhadap seruan Paus
Urban itu sungguh luar biasa, para pengkhotbah populer seperti Peter Sang
Pertapa yang mengabarkan tentang Perang Salib. Pada musim semi tahun 1096,
berangkatlah lima pasukan yang terdiri atas 60.000 tentara. Gerakan ini
merupakan gerakan spontanitas yang diikuti oleh berbagai kalangan masyarakat
Kristiani.
Di sepanjang jalan menuju Constantinople mereka membuat keonaran
bahkan terjadi bentrok dengan penduduk Hongaria dan Byzantium. Dengan adanya
fenomena ini Dinasti Saljuk menyatakan perang terhadap gerombolan tersebut,
sehingga akhirnya gerakan pasukan Salib dapat mudah dikalahkan. Berawal dari
kekalahan pihak kristiani Godfrey of Buillon mengambil alih kepemimpinan
pasukan Salib, sehingga mengubah Tentara Salib menjadi ekpedisi militer yang
terorganisasi rapi. Dalam peperangan menghadapi pasukan Godfrey, pihak Islam mengalami
kekalahan, sehingga mereka berhasil menduduki Palestina (Yerussalem) pada tanggal
07 Juni 1099.
Pasukan Godfrey ini melakukan pembantaian besar-besaran selama
satu minggu terhadap umat Islam disamping itu mereka membumi hanguskan
bangunan-bangunan umat Islam, sebelum pasukan ini menduduki Baitul Maqdis,
mereka terlebih dahulu menaklukkan Anatolia, Tartur, Aleppo, Tripoli, Syam, dan
Acre. Kemenangan pasukan Salib dalam periode ini telah mengubah peta situasi
Dunia Islam kawasan itu. Sebagai akibat dari kemenangan itu, berdirilah
beberapa kerajaan Latin-Kristen di Timur, yaitu kerajaan Baitul Maqdis (1099 M)
di bawah pemerintahan Raja Godfrey, Edessa (1098 M) diperintah oleh Raja
Baldwin, dan Tripoli (1109 M) dibawah kekuasaan Raja Raymond. Perang Salib I
ditandai oleh bangkitnya kerajaan Seljuk (Turki) yang memasuki Armenia, Asia
kecil dan Syria, kemudian menyapu daerah kawasan Byzantium (Romawi) memporakporandakan
angkatan perangnya di pertempuran Mazikert dan sepanjang laut tengah yang pada
masa Alip Arselan dan Malik Syah, Yerussalem pun dicaplok. Maka dari itu,
Konstantinopel dibawah kepala gereja Hildeband yang menaiki tahta sebagai Paus Gregorius
VII memohon bantuan dari para raja ksatria dan penduduk umumnya, sebab penakluk-penakluk
dari Bani Seljuk itu dianggap berlaku kejam dan menindas orang-orang Kristen
yang datang beribadah ke Baitul Maqdis. Akan tetapi pada tahun 1095 M baru bisa
menghimpun kekuatan sebesar 300.000 orang, atas usaha dari penggantinya yaitu
Paus Urbanus II yang dibantu oleh guru bahasanya yaitu Peter Sang Pertapa atau
Peter Amiens. Peter lah yang menyerukan kepada seluruh raja dan pembesar raja
Eropa-Kristen bersatu untuk memerangi Islam atas nama agamanya yang suci. Peter
terus berkelana sambil terus berkampanye untuk itu. Pada akhir tahun 1096 M dan
awal tahun 1097 M, sekitar 150.000 tentara Salib sampai di Konstantinopel di bawah
pimpinan Gadefroy, Bohemond dan Raymond. Pada awal tahun 1097 M tentara Salib
mulai menyebrangi selat Bosporus lalu mengepung kota Niceae dan setelah
dikepung selama sebulan, akhirnya kota jatuh ke tangan mereka pada tanggal 18
Juni 1097 M, serta mereka dapat mengalahkan tentara Kalij Arsalan dari Bani
Saljuk di Asia kecil.
Pada tanggal 15 Juli 1099 tentara Salib mengepung Yerussalem
selama tujuh hari dengan menyembelih tak kurang dari 70.000 umat Islam, dan
pada saat itu pula Yerusalem dan kota-kota sekitarnya takluk. Kemudian tentara
Salib mendirikan empat kerajaan Kristen yaitu di tanah suci Baitul Maqdis,
Enthiokhie, Raha dan Tripolisyam, sedangkan Nicola dikembalikan pada Kaisar
Byzantium.
2.
Perang Salib II (1147-1149 M)
Perang Salib II juga terjadi sebab bangkitnya Bani Seljuk dan
jatuhnya Halab (Aleppo), Edessa, dan sebagian negeri Syam ke tangan Imaddudin
Zanky (1144 M). Setelah Imaduddin meninggal, ia digantikan oleh putranya yang
bernama Nuruddin dan dibantu oleh Salahuddin hingga tahun 1147 M. Perang Salib
II ini dipimpin oleh Lode Wiyk VII atau Louis VII (Raja Perancis), Bernard de
Clairvaux dan Concrad III dari Jerman. Laskar Islam yang terdiri dari bangsa
Turki, Kurdi dan Arab dipimpin oleh Nuruddin Sidi Saefuddin Gazi dan Mousul dan
dipanglimai oleh Salahuddin Yusuf ibn Ayyub. Pada tanggal 4 Juli 1187 terjadi
pertempuran antara pasukan Salahuddin dengan tentara Salib di Hittin dekat
Baitul Maqdis. Dalam pertempuran ini kaum muslimin dapat menghancurkan pasukan
Salib, sehingga raja Baitul Maqdis dan Ray Mond tertawan dan dijatuhi hukuman
mati. Kemenangan Salahuddin dalam peperangan ini memberikan peluang yang besar untuk
merebut kota-kota lainnya, termasuk Baitul Maqdis, Yerussalem, Al Qudus. Pada
saat kota Yerussalem direbut tentara Salib, mereka melakukan pembunuhan
besar-besaran terhadap orang Islam, tetapi ketika kota itu direbut kembali oleh
Salahuddin, kaum muslimin tidak melakukan pembalasan terhadap mereka, bahkan memperlakukan
mereka dengan baik dan lemah lembut. Pada saat Baitul Maqdis kembali ke tangan
Umat Islam kembalilah suara adzan berkumandang dan lonceng gereja berhenti berbunyi
serta Salib emas diturunkan dari kubah sakrah. Dalam periode ini disebut
sebagai periode reaksi umat Islam atas jatuhnya beberapa wilayah kekuasaan
Islam ke tangan Tentara Salib telah membangkitkan kesadaran kaum muslimin untuk
menghimpun kekuatan guna menghadapi Tentara Salib. Di bawah komando Imaduddin
Zangi, Gubernur Mousul, kaum muslimin bergerak maju membendung serangan pasukan
Salib bahkan mereka berhasil merebut kembali Aleppo, Adessa (Ar-Ruha’) pada
tahun 1144 M. Setelah Imaduddin Zangi wafat, posisinya digantikan putranya
Nuruddin Zangi, dia meneruskan perjuangan ayahnya untuk membebaskan
negara-negara Timur dari cengkraman Tentara Salib. Kota-kota yang berhasil
dibebaskan antara lain Damaskus (1147 M), Antiok (1149 M) dan Mesir (1169 M).
Keberhasilan kaum muslimin meraih berbagai kemenangan, terutama setelah
munculnnya Salahuddin Yusuf Al-Ayyubi (Salahuddin) di Mesir, yang berhasil
membebaskan Baitul Maqdis pada tanggal 2 Oktober 1187. Hal ini membuat Tentara
Salib untuk membangkitkan kembali basik kekuatan mereka sehingga mereka
menyusun kekuatan dan mengirim ekspedisi militer yang lebih kuat. Dalam
ekspedisi ini dikomando oleh raja-raja Eropa yang besar, Frederick I (The
Lion Heart, Raja Inggris) dan Philip II (Augustus, Raja Prancis). Ekpedisi
militer Salib kali ini dibagi dalam beberapa devisi, sebagian menempuh jalan
darat dan yang lainnya menempuh jalur laut. Frederick yang memimpin devisi
darat tewas tenggelam dalam penyebrangannya di sungai Armenia, dekat kota Ar-Ruha’,
sebagian tentaranya kembali kecuali beberapa orang yang terus melanjutkan
perjalanannya di bawah pimpinan putra Frederick. Adapun devisi yang menempuh
jalur laut menuju Sicilia yang dipimpin Richard dan Philip II, disana mereka
bertemu dengan pasukan Salahuddin, terjadilah peperangan sengit, karena
kekuatan tidak berimbang, maka pasukan Salahuddin mundur, dan Kota Acre
ditinggalkan oleh pasukan Salahuddin dan menuju ke Mesir untuk mempertahankan daerah
itu. Dalam keadaan demikian kedua belah pihak melakukan gencatan senjata dan membuat
suatu perjanjian damai, inti perjanjian damai tersebut adalah: “Daerah pedalaman
akan menjadi milik kaum muslimin dan umat Kristen, yang akan berziarah ke Baitul
Maqdis akan terjamin keamanannya, sedangkan daerah pesisir utara, Acre dan
Jaffa berada di daerah kekuasaan tentara Salib.” Tidak lama kemudian setelah
perjanjian disepakati, Salahuddin wafat pada bulan Safar 589 H atau Februari 1193
M.
3.
Perang Salib III (1187-1191 M)
Perang Salib III ini timbul sebab bangkitnya Mesir dibawah
pimpinan Salahuddin, berkat kesuksesannya menaklukkan Baitul Maqdis dan
kemampuannya mengatasi angkatan-angkatan perang Prancis, Inggris, Jerman dan
negara-negara Eropa lainnya. Kejadian tersebut dapat membangunkan Eropa-Barat
untuk menyusun angkatan Perang Salib selanjutnya atas saran Guillaume. Perang
Salib III ini dipimpin oleh Kaisar Fredrick I Barbarosa dari Jerman Philip II
August (Raja Prancis dan Inggris), Richard The Lion Heart. Ketika itu
pasukan Jerman sebanyak 100.000 orang dibawah pimpinan Frederick Barbarosa,
tetapi nasibnya sangat malang, ketika ia menyeberang, sebuah sungai yang jeram
di Sisilia-Armenia ia mati tenggelam sehingga pasukannya kehilangan pemimpin
dan pasukannya patah semangat, akhirnya pasukan tersebut ada yang memilih
kembali ke negerinya dan ada pula yang terus untuk bergabung dengan pasukan
lainnya.
Tentara Inggris dan Prancis bertemu di Saqliah dan disini juga
terjadi perselisihan antara Philiph dengan Richard yang akhirnya mereka kembali
sendiri-sendiri. Richard mengambil jalan melalui Cyprus dan Philiph langsung
menuju Palestina dan mengepung Akka. Akhirnya Akka dan Yaffa jatuh ditangan
tentara Salib tetapi tidak bisa menduduki Baitul Maqdis dan dibuatlah
perjanjian damai antara kedua belah pihak di Ramlah atau dapat disebut perjanjian
Ar-Romlah.
Tidak lama setelah perdamaian tersebut Salahuddin wafat, dan
digantikan oleh saudaranya Sultan Adil. Salahuddin wafat setelah berhasil
mempersatukan umat Islam dan mengembalikan Baitul Maqdis ke tangan umat Islam. Periode
ini lebih dikenal dengan periode perang saudara kecil-kecilan atau periode kehancuran
di dalam pasukan Salib sendiri. Hal ini disebabkan karena periode ini lebih disemangati
oleh ambisi politik untuk memperoleh kekuasaan dan sesuatu yang bersifat material,
dari motivasi agama. Tujuan mereka untuk membebaskan Baitul Maqdis seolah-olah
mereka lupakan, hal ini dapat dilihat ketika pasukan Salib yang disiapkan
menyerang Mesir (1202-1204 M) ternyata mengubah haluan menuju Constantinople,
kota ini direbut dan diduduki lalu dikuasai oleh Baldwin sebagai rajanya yang
pertama. Dalam periode ini telah terukir dalam sejarah yaitu munculnya pahlawan
wanita yang terkenal dan gagah berani yaitu Syajar Ad-Durr, dia berhasil
menghancurkan pasukan Raja Lois IX, dari Prancis dan sekaligus menangkap raja
tersebut. Dalam periode ini pasukan Salib selalu menderita kekalahan. Meskipun
demikian mereka telah mendapatkan hikmah yang sangat besar, mereka dapat
mengetahui kebudayaan dan peradaban Islam yang sudah sedemikian majunya, bahkan
kebudayaan dari Timur-Islam menyebabkan lahirnya renaisansce di Barat.
4.
Perang Salib IV (1202-1204 M)
Tentara Salib berpendapat bahwa jalan untuk merebut kembali Baitul
Maqdis adalah harus dikuasai terlebih dahulu keluarga Bani Ayyub di Mesir yang
menjadi pusat persatuan Islam ketika itu. Oleh karena itu Tentara Salib
memusatkan perhatian dan kekuatannya untuk menguasai Mesir.(Sou’yb, 1978:98).
Akan tetapi Perang Salib IV ini dilakukan atas kerja sama dengan Venesia dan
bekas kaisar Yunani. Tentara Salib menguasai Konstatinopel (1204 M) dan
mengganti kekuasaan Bizantium dengan kekuasaan latin disana. Pada waktu itu
Mesir diperintah oleh Sultan Salib, maka dikuatkanlah perjanjian dengan
orang-orang Kristen pada tahun 1203-1204 M dan 1210-1211 M. Isi perjanjian itu
adalah mempermudah orang Kristen ziarah ke Baitul Maqdis dan menghilangkan permusuhan
antara kedua belah pihak.
5.
Perang Salib V (1217–1221 M)
Perang Salib V tetap berada di Konstantinopel dan tidak
henti-hentinya terjadi konflik dengan pihak Kaisar. Perang Salib V dipimpin
oleh Jeande Brunne Kardinal Pelagius serta raja Hongaria, meskipun pada tanggal
5 November 1219 kota pelabuhan Damietta mereka rebut, namun dalam perjalanan ke
Kairo pada tanggal 24 Juli 1221 mereka membuat kekacauan di Al Masyura ( tepi
sungai Nil) kemudian mereka pulang kampung.
6.
Perang Salib VI (1228–1229 M)
Perang Salib VI dipimpin oleh Frederick II dari Hobiens Taufen,
Kaisar Jerman dan raja Itali dan kemudian menjadi Raja muda Yerussalem lantaran
berhasil menguasai Yerussalem tidak dengan perang tapi dengan perjanjian damai
selama 10 tahun dengan Sultan Al-Malikul Kamil, keponakan Salahuddin al-Ayyubi,
namun 14 tahun kemudian yakni pada tahun 1244 kekuasaan diambil alih Sultan Al
Malikul Shaleh Najamuddin Ayyub beserta Kallam dan Damsyik.
7.
Perang Salib VII (1248–1254 M)
Peperangan ini dipimpin oleh Raja Louis IX dari Perancis pada
tahun 1248, namun pada tahun 1249 tentara Salib berhasil menguasai Damietta
(Damyat). Dimasa inilah pemimpin angkatan perang Islam, Malikul Shaleh mangkat
kemudian digantikan putranya Malikul Asraff Muzafaruddin Musa. Ketika Louis IX
gagal merebut Antiock yang dikuasai Sultan Malik Zahir Bay Bars pada tahun 1267/1268,
lalu hendak merebut Tunis, ia beserta pembesar-pembesar pengiringnya ditawan
oleh pasukan Islam pada 6 April 1250 dalam satu pertempuran di Perairan Mesir,
setelah mereka memberi uang tebusan, maka mereka dibebaskan oleh Tentara Islam
dan mereka balik ke negerinya.
8.
Perang Salib VIII (1270 M)
Dalam Perang Salib VIII yaitu pada tanggal 25 Agustus 1270 ini
Louis IX telah binasa ditimpa penyakit (riwayat lain menyebutkan ia terbunuh).
Akhirnya pada tahun 1492 Raja Ferdinad dan Ratu Isabella sukses menendang habis
umat Islam dari Granada, Andalusia. Riwayat lain juga menjelaskan bahwa Perang
Salib VIII ini tidak sempat terbentuk karena kota terakhir yakni Aere yang
diduduki oleh tentara Salib malahan berhasil dikuasai oleh Malikul Asyraf (putra
Malikul Shaleh). Dengan demikian terkuburlah Perang Salib oleh Perang Sabil.
Tetapi meskipun Perang Konvensional dan Frontal itu sudah berakhir secara
formal, namun sesungguhnya perang jenis lain yang kwalitasnya lebih canggih
terus saja berlangsung seiring dengan kemajuan zaman.
9.
Perang Salib IX (1271-1291 M)
Dalam Perang Salib lanjutan ini ada beberapa faktor yang melatar
belakanginya yaitu ketika kaum muslimin mundur dari Cordova atau Granada oleh
Ferdinand, Leon dan Castelin. Pada saat degradasi politik seperti itu Islam
sedikit demi sedikit basik kekuatannya menurun. Adapun faktor lain yaitu;
adanya perjanjian Tordessilas, yang menjadi semangat agama-agama katolik. Perjanjian
itu ditetapkan pada 4 Mei 1493, yang menyatakan antara lain; “Bahwa kepercayaan
agama Katolik dan agama Kristen, teristimewa pada zaman kita ini, harus dimulyakan
dan disempurnakan, serta disebarkan dimana-mana dan harus mengambil alih
Kerajaan Granada dari kelaliman para sara (muslimin)”. Dengan adanya perjanjian
tersebut, Perang Salib dikobarkan lagi dan dilancarkan oleh orang-orang
Portugis dengan tujuan bukan lagi mencari keuntungan, tetapi melakukan ekspansi
politik dan ekspansi keagamaan dan musuh pertama yang dihadapi adalah negara
Islam. Para pendeta dan lembaga-lembaga missionaris oleh orang-orang Dunia
Islam dianggap sebagai imperialisme. Dan merupakan satu aspek usaha penyingkiran
lembaga-lembaga pribumi atau Islam dengan menggantikan sejarah setempat dengan
kurikulum Barat. Dalam peperangan lanjutan ini pihak Kristen juga mengalami
kekalahan, akan tetapi orang-orang Kristen dengan segala bentuk dan cara
berusaha menghancurkan Islam baik melalui politik, ekonomi dan pendidikan.
C. DAMPAK PERANG SALIB
Dalam penyebaran pasukan Salib terhadap umat Islam, menjadi
fenomena yang disertai timbulnya sentimen keagamaan yang kuat. Dengan adanya
motif ini, maka membawa pengaruh besar terhadap hubungan antar pemeluk agama
Islam dan Kristen dalam waktu yang panjang. Melihat dari beberapa gambaran yang
ada maka dapat disimpulkan bahwa, meskipun Perang Salib sudah berakhir namun
pada hakekatnya belum berakhir, hal ini karena adanya perkembangan-perkembangan
selanjutnya, yang walaupun tidak dalam bentuk yang lain, yang sekaligus
merupakan suatu hubungan yang sulit untuk dipisahkan. Adapun hubungan Perang
Salib dengan gerakan-gerakan yang dimaksud antara lain:
1.
Hubungan Perang Salib dengan Orientalisme
Orientalisme lahir akibat Perang Salib atau ketika dimulainya
pergeseran politik dan agama antara Islam dan Kristen Barat di Palestina.
Argumentasi mereka mengatakan bahwa permusuhan politik berkecamuk berawal pada
masa pemerintahan Salahuddin dan Nuruddin Zhang dan berlanjut pada anaknya
yaitu Al-Adil, sebagai akibat kekalahan beruntun yang dilimpahkan pasukan Islam
ke pasukan Salib, semua itu memaksa orang-orang Barat membalas kekalahan. Bertitik
tolak dari keterangan diatas, maka dapat digambarkan bahwa Orientalis (pengetahuan
orang Barat tentang agama, kebudayaan, peradaban, sastra dan bahasa Timur) sudah
lama berkembang di Barat. Hal ini disebabkan karena perhatian orang-orang Barat
terhadap Islam atau soal keTimuran sudah sejak Perang Salib. Kemudian mengenai kegiatan-kegiatan
Orientalisme dalam studinya terhadap Dunia Timur atau Islam, sebenarnya telah
didorong oleh beberapa motivasi, yaitu; motivasi religius, motivasi imperial,
motivasi politis, dan motivasi ilmiyah.
2.
Hubungan Perang Salib dengan Kolonialisme
Kolonialisme Eropa merupakan tantangan politis dan religius, dan
gerakan ini telah menyingkirkan kaum muslimin memerintah di Dunia Islam yang
telah berlangsung sejak jaman Nabi Muhammad. Bagi banyak orang di Barat, dugaan
mengenai kemenangan Kristen didasarkan pada sejarah yang diromantisiskan untuk
merayakan kepahlawanan pejuang Salib dan kecenderungan untuk
menginterpretasikan sejarah kekuasaan Amerika selama dua abad lebih,
masing-masing agama melihat satu sama lain sebagai militan agar berbaris dan
fanatik. Dengan demikian kolonialisme adalah merupakan suatu kelanjutan dari
Perang Salib, dimana gerakan-gerakan tersebut sudah merupakan warisan dari
kejadian Perang Salib, dalam artian masih mempunyai hubungan yang sulit untuk
dipisahkan karena Perang Salib itu sendiri merupakan jembatan bagi kolonialisme
untuk menjajah Dunia Islam.
3.
Hubungan Perang Salib dengan Kristenisasi
Jika dicermati, semangat salibisme ini sebenarnya telah ada
sebelum terjadinya Perang Salib yang berkepanjangan. Semangat untuk menyiarkan
agama Kristen diantara bangsa-bangsa yang belum mengenalnya dipandang sebagai
satu kewajiban bagi umat Kristiani. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa
keberhasilan dalam menjalankan misi memang tidak lepas dari Perang Salib,
karena Perang Salib merupakann awal bangsa Barat dalam menjalankan misinnya.
Pengaruh
Perang Salib Terhadap Dunia Barat
Perang Salib yang berlangsung kurang lebih dua abad membawa akibat
yang sangat berarti bagi perjalanan
sejarah Dunia, antara lain :
1. Perang Salib menjadi penghubung
bagi bangsa Eropa, mengenali Dunia Islam
secara lebih dekat, sehingga kontak hubungan antara Barat dan Timur
semakin dekat.
2. Kemajuan ilmu pengetahuan dan tata
kehidupan masyarakat Timur yang maju menjadi daya dorong pertumbuhan
intelektual bangsa Barat yakni Eropa sehingga hal tersebut mempunyai andil yang
sangat besar dalam melahirkan era Renaisans di Eropa.
3.
Bangsa Barat yang selama itu tidak mengenal
kemajuan pemikiran bangsa Timur. Maka Perang Salib itu juga membawa akibat
timbulnya kegiatan penyelidikan bangsa Eropa mengenai seni dan pengetahuan
penting serta berbagai penemuan yang telah dikenal di Timur seperti kincir
angin, kompas kelautan, dan lain-lain.
4.
Bangsa Barat dapat mengenali sistem industri
Timur yang telah maju sehingga setelah kembali ke Eropa mereka lantas
mendirikan sistem pemasaran barangbarang produk Timur. Perang Salib yang pada
awalnya hanya merupakan suatu reaksi dari Kristen Eropa Barat, namun
lama-kelamaan timbul suatu keinginan untuk menguasai Dunia Islam. Hal ini dapat
dibuktikan dengan adanya cita-cita dari umat Kristen Eropa mendirikan
kerajaankerajaan mereka di seluruh daerah Timur. Untuk merealisasikan cita-cita
diatas, maka jalan satu-satunya yang ditempuh yaitu menyapu bersih umat
Islam.Dengan cita-cita yang telah dicanangkan tersebut.
Amstron, Karen.
2009. Perang Suci. Jakarta: Serambi
Mahmud, Muhammad.
2006. 10 Pahlawan Penyebar Islam. Jakarta: Mitra Pustaka
Makalah waktu Semester 1
ReplyDelete