Bukti tertua mengenai keberadaan Aksara
Nusantara yaitu berupa tujuh buah yupa (tiang batu untuk menambatkan tali
pengikat sapi) yang bertuliskan prasasti mengenai upacara
waprakeswara yang diadakan oleh Mulawarmman, Raja Kutai di daerah Kalimantan Timur. Tulisan pada yupa-yupa tersebut
menggunakan aksara Pallawa dan Bahasa Sanskrta. Berdasarkan tinjauan
pada bentuk huruf Aksara Pallawa pada yupa, para ahli menyimpulkan bahwa
yupa-yupa tersebut dibuat pada sekitar abad ke IV.
Setidaknya sejak abad ke IV itulah
Bangsa Indonesia telah mengenal bahasa tulis yang terus berkembang
mengikuti perkembangan bahasa lisan. Perkembangan ini dimulai terutama sejak
bahasa daerah (misalnya Bahasa Melayu Kuno dan Bahasa Jawa Kuno) juga dituangkan dalam bentuk tulisan
selain dari Bahasa Sanskerta yang pada masa sebelumnya merupakan satu-satunya
bahasa yang lazim dituliskan. Sejak abad XV aksara Nusantara berkembang pesat
dengan ditandai beraneka-ragamnya aksara untuk menuliskan berbagai bahasa
daerah hingga kemudian peranannya mulai tergeser oleh abjad Arab dan alfabet Latin.
Hampir semua aksara daerah di Indonesia merupakan
turunan Aksara Pallawa yang berasal dari daerah India Selatan. Aksara Jawi, Aksara
Pegon, dan Aksara Bilang-bilang merupakan turunan Abjad Arab, sedangkan Aksara
Nagari berasal dari daerah India Utara. Baik Aksara Pallawa maupun Aksara
Nagari adalah turunan dari Aksara Brahmi yang merupakan induk semua aksara di Asia
Selatan dan Asia Tenggara.
Istilah Aksara Nusantara juga bisa digunakan
untuk merangkum aksara-aksara yang digunakan dan berkembang di Kepulauan
Filipina. Hampir semua aksara daerah di Filipina merupakan turunan
Aksara Kawi (Aksara Jawa Kuno). Aksara-aksara ini meliputi Aksara Baybayin,
Aksara Tagbanwa, Aksara Buhid, Aksara Hanunó’o, dan Aksara Kapampangan.
Sedangkan Aksara Eskaya merupakan hasil budaya asli Bangsa Filipina.
Beberapa aksara daerah dinamai menurut susunan
huruf-hurufnya atau menurut nama abecedarium aksara tersebut.
Demikianlah maka Aksara Jawa Baru dan Aksara Bali disebut Aksara Hanacaraka;
sedangkan Aksara Rejang, Aksara Kerinci, Aksara Lampung, dan Aksara Sunda Baku
disebut juga Aksara Kaganga mengikuti abecedarium Aksara Pallawa : ka kha
ga gha nga.
Ada pendapat sebelum hadir abjad
Arab dan Latin sekarang, tulisan yang lazim dipergunakan di
kawasan Asia Tenggara (kecuali di Vietnam dan sebagian
kalangan penduduk Cina Selatan) diduga sebagian besar dari pengaruh India.
Begitu pun halnya yang terjadi di Nusantara. Para sarjana (pribumi dan
asing) hampir selalu mengajukan pendapat senada bahwa aksara
di Nusantarahadir sejalan dengan berkembangnya unsur (Hindu-Buddha)
dari India yang datang dan menetap, melangsungkan kehidupannya dengan
menikahi penduduk setempat. Maka sangat wajar, langsung atau tidak langsung
disamping mengenalkan budaya dari negeri asalnya sambil mempelajari budaya
setempat di lingkungan pemukiman baru, salah satu implikasinya adalah bentuk
aksara (de Casparis:1975).
Namun sejauh fakta yang ada, pendapat itu tidak
disertai penjelasan tuntas hingga pada suatu waktu seorang
ahli epigrafi yang berkebangsaan Perancis bernama Louis
Charles Damais (1951-55) yang menyatakan bahwa hipotesis para ahli tersebut
belum benar-benar menegaskan dari mana dan bagaimana awal kehadiran serta mengalirnya arus kebudayaan India ke Nusantara kecuali
diperkirakan tidak hanya berasal dari satu tempat saja, tetapi juga dari
berbagai tempat lainnya. Walaupun tidak dipungkiri bahwa aksara-aksara di
Nusantara memang menampakkan aliran India Selatan atau
aliran India Utara, namun juga cukup rumit dan sulit ditentukan darimana
kepastian awalnya sebab meskipun ada pengaruh India, tetapi kebudayaan India
tidaklah berperan sepenuhnya terhadap lahirnya aksara di Nusantara khususnya
suku bangsa yang menghasilkan sumber tertulis dengan mempergunakan
aksara-aksara nasional atau aksara daerah yang tergolong kuno itu.
Ada asumsi bahwa kebudayaan India datang ke
Nusantara semata karena peran cendekiawan Nusantara sendiri yang telah turut
ambil bagian ke kancah pergaulan politik internasional, tetapi tidak berarti
bahwa di kala itu bangsa Nusantara belum mengenal aksara sebagai alat melakukan
interaksi sosial dengan bangsa-bangsa lain. Wujud ataupun bentuk aksara yang
berperan pada periode itu pun sesungguh-sungguhnya merupakan hasil daya cipta
cendekiawan lokal yang telah meramu secara selektif unsur-unsur asing dari
berbagai aliran yang pada klimaksnya mencapai kesepakatan gaya jenis dan bentuk
aksara sesuai kondisi wilayah budaya. Saat berlangsungnya proses inovasi,
masyarakat Nusantara telah mencapai kondisi siap mental, karena itu tatkala
inovasi asing (luar) tiba, khususnya dari India, masyarakat Nusantara segera
dapat mencerna dan menyesuaikan diri tentu dengan melalui pengetahuan dan
pengalaman kebudayaan setempat (Damais 1952; 1955).
Sejarah mencatat bahwa aksara tertua di
Nusantara (Asia Tenggara umumnya) disebarluaskan seiring dengan
menyebarnya agama Buddha. Jenis aksara yang semula dipergunakan untuk
menulis ajaran. mantra-mantra suci atau teks-teks dengan jenis aksara yang
dipakainya disebut Sidhhamatrika, disingkat Siddham. Tetapi
sarjana Belanda lebih menyukai istilah Prenagari (Damais 1995; Sedyawati
1978). Jenis aksara inilah yang kemudian berkembang di Asia Tenggara walaupun
hanya terbatas atau terpatri, untuk menulis teks-teks keagamaan pada media
tablet, materai atau stupika yang dibuat dari tanah liat (bakar
atau terakota) atau dijemur dan dikeringkan matahari. Objek tekstual jenis
ini hampir dipastikan tidak atau jarang disertai unsur pertanggalan, karenanya
sulit ditentukan periodenya secara tepat. Namun melalui analisis palaeografis
yakni perbandingan kemiripan tipe, gaya, bentuk aksara dari zaman ke zaman, maka
khusus aksara pada tablet, meterai atau stupika yang ditemukan di Asia Tenggara
diperkirakan dari sekitar abad pertama sampai ketiga Masehi. Di Nusantara
benda-benda seperti ini ditemukan
di Sumatra, Jawa dan Bali dengan menggunakan
bahasa Sanskerta.
Aksara yang kemudian lebih populer di Nusantara
adalah aksara dari (dinasti) Pallava (India Selatan) selanjutnya
disebut aksara Pallawa (saja), juga memiliki kecenderungan tidak
menyertakan unsur pertanggalan, dijumpai pada prasasti tujuh Yupa (tugu peringatan
kurban) kerajaan Kutai (Kalimantan Timur) yang diperkirakan
dari tahun 400 Masehi dan sejumlah prasasti dari kerajaan Tarumanagara (Jawa
Barat) tahun 450 Masehi.
Kedua kerajaan yang cukup jauh letaknya
sama-sama mengggunakan aksara Pallawa-Grantha dan bahasa Sanskerta
dengan gaya khas inovasinya. Prasasti-prasasti masa Tarumanagara dipahatkan
pada batu alam. Khusus prasasti Ciaruteun dan Muara
Cianten (Kampung Muara), di tepi sungai Cisadane dan Cibungbulang
(Bogor), Jawa Barat, disusun dan ditata dengan metrum
(sloka) Sanskerta, ada juga yang berpahatkan pilin, umbi-umbian dan
sulur-suluran. Beberapa sarjana menyebut pahatan pilin, umbi, dan sulur-suluran
itu sebagai bentuk aksara khusus yang disebut kru-letters, conch-shell-script atau
aksara sangkha.
Ragam hias yang kemudian lebih banyak ditemukan
sebagai karya asli pribumi khususnya berkembang di beberapa daerah
di Sulawesi. Karakter-karakter yang memiliki keistimewaan sebagai hasil
daya cipta setempat yang telah sangat tua yang dikembangkan di alam dan
lingkungan kebudayaan yang didasari kemapanan kreativitas dan berkembang sesuai
kondisinya. Ciri perkembangan inilah yang kemudian menjadi rumit sebab setiap
individu atau kelompok masyarakat dari suatu lingkungan kebudayaan memiliki
konsep-konsep untuk mengembangkan gaya dan bentuk aksara selanjutnya melahirkan
tipe-tipe khas pendukung budaya.
Sejak awal kehadirannya aksara-aksara di
kawasan Asia Tenggara hadir berkembang pada periode-periode yang hampir sama
menunjukkan adanya kemiripan berlangsung hingga abad ke-8 Masehi. Meskipun
dalam beberapa hal masih memperlihatkan pengaruh Pallawa seperti gaya
aksara masa sesudahnya yang oleh Boechari disebut aksara Pasca-Pallawa, namun
hampir di setiap wilayah Asia Tenggara daratan dan kepulauan
(Nusantara/Dwipantara) sekurang-kurangnya abad ke-8 Masehi telah berkembang
aksara yang pada prinsipnya sama tetapi memiliki corak-corak khusus (tersendiri).
Gaya dan jenis aksara sebagian besar mirip
aksara pada sejumlah dokumen (sumber) tertulis
di Sumatra dan Jawa mempergunakan jenis bahasa pengantar
yang dikenal berkembang pada masing-masing daerah pendukung budaya (Malayu
Kuno, Jawa Kuno, Sunda Kuno dan Bali Kuno).
Perubahan Aksara Pallawa (kolom paling kiri) menjadi sejumlah aksara Nusantara. Kolom kedelapan adalah Aksara Jawa Baru (Hanacaraka), kolom kesembilan adalah Aksara Bali, dan kolom paling kanan adalah Aksara Bugis (Lontara).
Beberapa
pendapat menyatakan bahwa kemungkinan aksara-aksara yang hadir di Nusantara
merupakan perkembangan dari aksara Pallawa namun ciri dan
pertaliannya masih belum benar-benar dijelaskan, sebab difrensiasi ciri atas
aksara-aksara lokal dan kaitannya kepada Pallawa terlampau jauh. Batas antara
gaya aksara yang satu (lebih tua) dengan yang hadir kemudian sulit ditentukan,
kemungkinan keduanya berkembang secara hampir bersamaan. Atau gaya yang telah
ada kemungkinan tersilih oleh kehadiran gaya dan jenis aksara yang baru,
peralihan dan pergantian sesuai perkembangan zaman seperti yang terjadi dengan
munculnya aksara Pegon dan Latin. Yang baru telah berkembang
lebih meluas sedangkan yang lama berkembang secara lokal saja. Perbedaan
tersebut nampak seperti yang kemudian berkembang sebagai aksara
Jawa (tengahan atau baru).
Silsilah
Aksara Nusantara
Periodisasi Aksara Nusantara
1. Zaman
Kerajaan-Kerajaan Hindu-Budha
Aksara yang berkembang pada zaman kerajaan-kerajaan
Hindu-Buddha pada umumnya digunakan untuk menuliskan Bahasa Sanskerta atau
bahasa daerah yang sangat berpengaruh.
·
Aksara Pallawa
·
Aksara Nagari
·
Aksara
Kawi (Aksara Jawa Kuna)
·
Aksara Buda
·
Aksara Sunda Kuna
·
Aksara Proto-Sumatera
2. Zaman Kerajaan-Kerajaan Islam
Aksara yang berkembang pada zaman kerajaan-kerajaan
Islam di antaranya memiliki huruf untuk menuliskan bunyi dalam Bahasa Arab yang
tidak terdapat dalam bahasa daerah (misalnya Aksara Jawa dan Aksara Bali)
ataupun sistem vokalnya mengikuti sistem vokal Abjad Arab yang hanya mengenal
tiga bunyi vokal (misalnya Aksara Kerinci dan Aksara Buhid).
·
Aksara Batak (Surat Batak)
·
Aksara Rejang
·
Aksara Kerinci (Surat Incung)
·
Aksara Lampung (Had Lappung)
·
Aksara Jawa (Aksara Jawa
Baru/Hanacaraka)
·
Aksara Bali
·
Aksara Lontara
·
Aksara Baybayin (Aksara Tagalog)
·
Aksara Tagbanwa
·
Aksara Buhid
·
Aksara Hanunó'o
·
Aksara Kapampangan
·
Aksara Eskaya
3. Zaman Modern
Aksara daerah yang berkembang pada zaman modern
memiliki huruf untuk menuliskan bunyi dalam Bahasa Arab (misalnya f dan z) dan
Bahasa Latin (misalnya x dan v) yang tidak terdapat dalam bahasa daerah.
·
Aksara Sunda Baku
Variasi
Seiring perubahan zaman, budaya, dan bahasa masyarakat
penggunanya, suatu aksara dapat mengalami perubahan jumlah huruf, bentuk huruf
maupun bunyinya, walaupun tetap saja dianggap sebagai bagian dari aksara
induknya; atau dengan kata lain, tidak terpecah menjadi aksara baru.
Demikianlah misalnya Abjad Arabyang digunakan untuk
menuliskan Bahasa Arab sedikit berbeda dengan Abjad Arab yang
digunakan untuk menuliskan Bahasa Melayu, atau juga Alfabet
Latin yang digunakan untuk menuliskan Bahasa Latin sedikit
berbeda dengan Alfabet Latin yang digunakan untuk menuliskan Bahasa
Jerman. Dalam perjalanan sejarahnyapun Aksara Nusantara tidak luput dari
kecenderungan untuk memunculkan variasi-variasi baru yang tetap mempertahankan
kaidah inti aksara induknya.
Beberapa variasi Aksara Nusantara antara lain :
·
Variasi Aksara Kawi (Aksara Jawa Kuna)
- Aksara Kayuwangi: Aksara ini merupakan Aksara Kawi yang ditulis dengan bentuk membundar miring. Disebut Aksara Kayuwangi karena variasi ini banyak dijumpai pada prasasti dari sebelum hingga setelah masa pemerintahan Rakai Kayuwangi, Raja Mataram (855 - 885). Oleh para ahli epigrafi Indonesia, variasi ini dianggap sebagai jenis tulisan Kawi yang paling indah.
- Aksara Kuadrat: Aksara ini merupakan Aksara Kawi yang ditulis dengan bentuk huruf menyerupai kotak / bujursangkar. Dari situlah variasi ini memperoleh namanya. Variasi ini banyak dijumpai pada prasasti dari masa Kerajaan Kediri dan Kerajaan Singasari.
- Aksara Majapahit: Aksara ini merupakan Aksara Kawi yang tiap hurufnya ditulis dengan banyak hiasan sehingga kadang kala sulit dikenali / sulit dibaca. Disebut Aksara Majapahit karena variasi ini banyak dijumpai dari masa Kerajaan Majapahit.
·
Variasi Aksara Batak
- Aksara Toba : Variasi ini merupakan Aksara Batak yang digunakan untuk menuliskan Bahasa Toba.
- Aksara Karo : Variasi ini merupakan Aksara Batak yang digunakan untuk menuliskan Bahasa Karo.
- Aksara Dairi : Variasi ini merupakan Aksara Batak yang digunakan untuk menuliskan Bahasa Dairi.
- Aksara Simalungun: Variasi ini merupakan Aksara Batak yang digunakan untuk menuliskan Bahasa Simalungun.
- Aksara Mandailing: Variasi ini merupakan Aksara Batak yang digunakan untuk menuliskan Bahasa Mandailing.
·
Variasi Aksara Lampung/Ulu
- Aksara Ulu untuk menuliskan dialek Pasemah
- Aksara Ulu untuk menuliskan dialek Serawai
- Aksara Ulu untuk menuliskan dialek Lembak
- Aksara Ulu untuk menuliskan dialek Rejang
·
Variasi Aksara Jawa
- Aksara Jawa untuk menuliskan Bahasa Jawa.
- Aksara Jawa untuk menuliskan Bahasa Jawa Kuno.
- Aksara Jawa untuk menuliskan Bahasa Jawa dialek Banten.
- Aksara Jawa untuk menuliskan Bahasa Jawa dialek Cirebon.
- Aksara Jawa untuk menuliskan Bahasa Sunda / Aksara Sunda Cacarakan.
·
Variasi Aksara Bali
- Aksara Bali untuk menuliskan Bahasa Bali.
- Aksara Bali untuk menuliskan Bahasa Bali Kuno.
- Aksara Bali untuk menuliskan Bahasa Sasak.
·
Variasi Aksara Lontara
- Aksara Jangang-jangang : Variasi dengan bentuk-bentuk huruf tersendiri untuk menuliskan Bahasa Makassar.
- Aksara Bilang-bilang : Variasi dengan bentuk-bentuk tersendiri untuk menuliskan Bahasa Bugis.
- Aksara Lota Ende : Variasi dengan bentuk-bentuk huruf tersendiri untuk menuliskan Bahasa Ende.
- Aksara Makassar : Variasi ini merupakan Aksara Lontara yang digunakan untuk menuliskan Bahasa Makassar
- Aksara Bugis : Variasi ini merupakan Aksara Lontara yang digunakan untuk menuliskan Bahasa Bugis.
- Aksara Lontara yang digunakan untuk menuliskan Bahasa Luwu.
- Aksara Lontara yang digunakan untuk menuliskan Bahasa Bima.
Aksara Lain yang Digunakan di Nusantara
- Abjad Arab
- Aksara Jawi untuk Bahasa Melayu
- Aksara Pegon untuk Bahasa Jawa dan Bahasa Sunda
- Alfabet Latin
- Ejaan Van Ophuijsen
- Ejaan Soewandi
- EYD
- Hanzi
No comments:
Post a Comment