SEJARAH PERKEMBANGAN
FILOLOGI
Kebudayaan Yunani lama merupakan salah satu dasar
pemikiran yang sangat besar pengaruhnya dalam kehidupan masyarakat Barat pada
umumnya. Dalam segala bidang kehidupan, dirasakan unsur-unsur yang berakar pada
kebudayaan Yunani lama, yang aspek-aspeknya tersimpan dalam naskah-naskah milik
bangsa itu. Diantara cabang ilmu yang mampu membuka aspek-aspek tersebut adalah
filologi. Maka ilmu filologi Yunani lama merupakan ilmu yang penting untuk
menyajikan kebudayaan Yunani lama, yang hingga abad ini tetap berperan dalam
memperluas dan memperdalam pengetahuan mengenai sumber dari segala ilmu
pengetahuan. Kebudayaan Yunani lama tidak hanya berpengaruh di dunia Barat,
akan tetapi berpengaruh juga di bagian dunia yang lain, seperti kawasan Timur
Tengah, Asia dan Asia Tenggara serta kawasan Nusantara.
Semenjak kecil
masyarakat Barat dibiasakan dengan nama-nama dewa seperti Apollo, Pallas
Athena, Zeus, Hera dan lain-lain. Memang para dewa dan pahlawan dalam legenda
Yunani kuno itu merupakan sumber kehidupan bagi pikiran dan imajinasi orang
Bara, seperti Jawa. Para penulis Barat acap kali mengutip miologi Yunani kuno
apabila mereka memerlukan perumpamaan yang bisa lebih menjelaskan jalan pikiran
mereka. Para sarjana dan ilmuwan menggunakan peristilahan yang digunakan pada
legenda Yunani kuno, seperti “Oedipus-complex”. Dalam dunia ilmu pengetahuan,
seperti ilmu filsafat, matematika, fisika banyak dinukil pendapat para ilmuwan
Yunani kuno untuk lebih menjelaskan konsep mereka. Karena itu jelas sekali
bahwa mereka yang ingin mengetahui secara lebih mendalam aspek-aspek tertentu
dari masyarakat Barat. Ilmu filologi pun juga berakar pada kebudayaan Yunani
kuno.
1. Awal Kegiatan
Filologi di Iskandariyah Abad ke-3 SM
Awal kegiatan ini dilakukan oleh bangsa Yunani, bangsa
ini berhasil membaca naskah-naskah Yunani lama, yang mulai ditulis pada abad
ke-8 SM dalam huruf Yunani kuno. Huruf ini berasal dari huruf bangsa Funisia.
Naskah-naskah itu ditulis pada daun papirus dan merekam tradisi lisan yag
mereka miliki berabad-abad sebelumnya. Mulai abad ke-8 sampai abad ke-3 SM
naskah itu berkali-kali disalin, maka wajarlah kalau mengalami perubahan dari
bentuk aslinya.
Di kota Iskandariyah pada abad ke-3 SM terdapat pusat
ilmu pengetahuan, karena di tempat itu banyak dilakukan telaah naskah-naskah
lama oleh para ahli yang bekerja di tempat tersebut. Mereka berasal dari daerah
sekitar Laut Tengah, terutama bangsa Yunani sendiri dari daratan Eropa Selatan.
Pusat studi itu, seperti perpustakaan yang menyimpan sejumlah besar naskah,
berupa papirus yang bergulung, yang berisi berbagai ilmu pengetahuan seperti
ilmu filsafat, kedokteran, perbintangan ilmu sastra dan karya sastra, ilmu hukum
dan lain sebagainya milik bangsa Yunani lama. Perpustakaan itu menempati
bangunan yang pada waktu itu yang dinamakan museum, aslinya sebuah kuil untuk
memuja 9 orang dewi muses, dewi kesenian dan ilmu pengetahuan dalam Mitologi
Yunani. Para penggarap naskah-naskah ini kemudian dikenal dengan ahli filologi
dan yang pertama-tama memakai nama itu ialah Eratosthenes. Dan
kemudian metode yang mereka gunakan untuk menelaah naskah-naskah itu kemudian
dikenal dengan ilmu filologi. Yang kemudian berkembang dari abad ke
abad di berbagai negara, oleh berbagai bangsa, hingga waktu ini. Metode
awal itu dilakukan demikian : pertama-tama mereka memperbaiki
huruf dan bacaan, ejaan, bahasanya, tatatulisnya, kemudian menyuntingnya dalam
keadaan yang mudah dibaca.
Para ahli filologi pada waktu itu benar-benar memilki
ilmu yang luas, karena untuk memahami isi naskah itu orang harus mengenal
hurufnya, bahasanya dan ilmu yang dikandungnya. Setelah dapat membaca dan
memahami isinya, mereka lalu menulisnya kembali dalam huruf yang digunakan pada
waktu itu dan bahasa yang dipakai waktu itu juga. Sehingga kebudayaan Yunani
lama yang memiliki nilai luhur itu dapat dikenal oleh masyarakat pada waktu
itu.
Di samping untu tujuan penggalihan ilmu pengetahuan
Yunani lama, kegiatan filologi juga sebagai kegiatan perdagangan. Untuk tujuan
ini penyalinan naskah biasanya dilakukan oleh para budak belian, yang pada
waktu itu masih banyak dan mudah dikerahkan. Dengan cara demikian mudah sekali
terjadi penyimpangan-penyimpangan dari bahan yang disalin, karena penyalin
tidak memiliki kesadaran terhadap nilai keotentikan naskah lama. Hasil
penyalinan ini kemudian diperdagangkan di sekitar Laut Tengah. Salin-menyalin
naskah dengan tangan mudah menimbulkan bacaan yang rusak atau korup (corrupt),
karena ketidaksengajaan atau karena penyalin bukan ahli dalam ilmu yang ditulis
dalam naskah tersebut, atau mungkin juga karena keteledoran penyalin. Kegiatan
filologi di Iskandariyah makin ramai, makin banyak yang berminat dalam bidang
ini sampai jatuhnya daerah Iskandariyah ke tangan bangsa Romawi pada abad ke-1
SM.
Seperti telah
dikemukakan di atas, bentuk naskah dengan bahan papirus itu
gulungan. Namun tidak efisien karena memerlukan tempat yang luas, kurang mudah
untuk melihat-lihat kembali bagian yang telah dibaca. Penulisan naskah dengan
bentuk gulungan ini tidak memberi nomor halaman seperti dalam naskah berbentuk
buku atau codex.
Isinya adalah rekaman
tradisi lisan mereka pada abad-abad sebelumnya. Bahan yang diteliti
antara lain karya sastra Homerus, dan ilmu pengetahuan yang hingga
saat ini tetap memiliki nilai agung seperti tulisan Socrates dan Aristoteles.
Sesudah Iskandariyah jatuh ke dalam kekuasaan Romawi.
Kegiatan filologi berpindah ke Eropa Selatanberpusat di kota Roma. Perkembangan
ini berkelanjutan hingga pecahnya kerajaan Romawi pada abad ke-4 menjadi
kerajaan Romawi Barat dan Romawi Timur. Peristiwa itu mempengaruhi perkembangan
filologi selanjutnya.
2. Filologi di Kerajaan
Romawi Barat
Kegiatan filologi
mengikuti kegiatan filologi Yunani abad ke-3 s.M. Penggarapan naskah dalam
bahasa Latin yang sudah digarap secara filologis sejak abad ke-3 s.M. Bentuk
naskah latin itu berupa puisi dan prosa yang banyak mewarnai dunia pendidikan
di Eropa pada abad-abad selanjutnya. Tradisi ini dikembangkan di kerajaan
Romawi Barat, dan bahasa Latin menjadi bahasa ilmu pengetahuan. Sejak terjadi
Kristenisasi di Eropa, kegiatan filologi digunakan untuk kepentingan agama, dan
naskah-naskah Yunani kuna ditinggalkan karena dianggap jahiliah. Sejak abad
ke-4, mulai digunakan codex (bentuk buku) menggunakan bahan
kulit binatang yang lebih awet dari pada papirus, dan lebih mudah dibaca karena
telah dilengkapi dengan nomor halaman. Pada waktu telaah teks Yunani di Romawi
Barat tampak mundur, tampak mulai bermunculan pusat-pusat teks Yunani di Romawi
Timur. Masing-masing kota menjadi pusat studi dalam bidang tertentu yang
selanjutnya berkembang menjadi perguruan tinggi dan menghasilkan tenaga ahli
dalam bidang masing-masing. Pada masa ini, mulai muncul kebiasaan menulis
tafsir di tepi sebuah naskah, yang disebut scholia. Meskipun
begitu, Romawi Timur dianggap kurang ahli dalam menelaah teks-teks Yunani lama.
Hal ini melatar belakangi diadakannya kuliah filologi di berbagai perguruan
tinggi.
3. Filologi di Kerajaan
Romawi Timur
Pada waktu telaah tekas Yunani tampak mundur di
Romawi Barat, maka di Romawi Timur mulai muncul pusat-pusat studi teks Yunani,
misalnya di Antioch, Athena, Iskandariyah, Beirut, Konstantinopel dan Gaza,
yang masing merupakan pusat studi dalam bidang tertentu. Iskandriyah menjadi
pusat studi bidang filsafat Aristoteles. Beirut pada bidang hukum. Pusat-pusat
sudi ini selanjutnya berkembang menjadi perguruan tinggi, ialah lembaga yang
menghasilkan tenaga ahli dalam bidang pemerintah, pendidikan dan administrasi.
Dalam periode ini
muncul kebiasaan menulis tafsir terhadap isi naskah pada tepi halaman. Catatan
demikian itu disebut scholia. Procopius dari Gaza telah membiasakan
menulis naskah langsung diiringi scholia dengan bahan yang
diambil dari tulisan lain yang membicarakan masalah yang sama. Karena tulisan
Procopius pada umumnya mengenai ajaran Befbel maka ajaran penulisan demikian
itu dikenal penulisan baru dalam kajian Befbel.
Pada saat telaah teks Yunani berkembang di Romawi
Timur di rasakan kurangnya ahli yang melakukan kegiatan itu. Untuk mendapatkan
tenaga-tenaga filologi, naskah yang dipandang penting diajarkan di perguruan
tinggi. Maka muncullah mimbar-mimbar kuliah filologi di berbagai perguruan
tinggi.
4. Filologi di Zaman
Renaisans
Menyebarnya era
Renaisans di Eropa pada abad ke-13 hingga ke-16 menyebabkan munculnya
kecenderungan pada aliran humanisme. Kata asal ‘humanisme’ dari ‘humaniora’
(kata Yunani) atau ‘amunista’ (kata Latin), yang semula berarti guru yang
mengelola tatabahasa, retorika, puisi, dan filsafat. Karena bahan yang
diperlukan berasal dari teks klasik, terjadi pergeseran arti menjadi aliran
yang mempelajari sastra klasik untk menggali kandungan isinya. Maka, kegiatan
telaah teks lama timbul kembali. Ketika kekuasaan Romawi Timur (Bizantium)
jatuh ke tangan bangsa Turki pada abad ke-15, ahli filologi berpindah ke Eropa
Selatan, terutama Roma. Di sana mereka menjadi pengajar, penyalin naskah, atau
penerjemah teks Yunani dalam bahasa Latin.
Penemuan mesin cetak oleh Gutenberg pada abad ke-15 juga mempengaruhi perkembangan filologi. Kemudahan menyalin naskah dan kebutuhan naskah yang semakin meningkat dari perguruan tinggi meningkatkan perkembangan filologi. Filologi juga digunakan untuk kepentingan telaah ilmu agama. Dalam perkembangannya, filologi sempat digunakan untuk mengkaji naskah nonklasik. Hasilnya, pengertian filologi menjadi kabur dengan ilmu bahasa. Mulai abad ke-19 ilmu bahasa itu berdiri sendiri, menjadi Linguistik, dan Filologi mendapat pengertian aslinya kembali.
Penemuan mesin cetak oleh Gutenberg pada abad ke-15 juga mempengaruhi perkembangan filologi. Kemudahan menyalin naskah dan kebutuhan naskah yang semakin meningkat dari perguruan tinggi meningkatkan perkembangan filologi. Filologi juga digunakan untuk kepentingan telaah ilmu agama. Dalam perkembangannya, filologi sempat digunakan untuk mengkaji naskah nonklasik. Hasilnya, pengertian filologi menjadi kabur dengan ilmu bahasa. Mulai abad ke-19 ilmu bahasa itu berdiri sendiri, menjadi Linguistik, dan Filologi mendapat pengertian aslinya kembali.
5. Perkembangan
Filologi di Timur Tengah
Bangsa Yunani lama telah sejak lama menanamkan
kebudayaannya hingga di kawasan Timur Tengah. Ide filsafati dan ilmu eksakta
daerah Timur Tengah terutama didapat dari bangsa Yunani lama. Perguruan tinggi
sebagai pusat berbagai ilmu pengetahuan yang berasal dari Yunani. Dalam
perkembangan sejarahnya, puncak perkembangan ilmu pengetahuan Yunani di kawasan
Timur Tengah yaitu pada zaman dinasti Abasiyah. Pada masa kepemimpinan Makmun
(809-833) perkembangan itu mencapai puncaknya. Diistananya terkumpul sejumlah
ilmuwan dari negara lain yang mempelajari berbagai disiplin ilmu dan diberi
fasilitas yang baik. Dikenal ada tiga penerjemah handal pada saat itu. Salah
satunya adalah Hunain yang melakukan banyak hal dengan mendata naskah-naskah
yang diterjemahkan maupun yang belum diterjemahkan, dan tempat penyimpanannya
secara lengkap. Ia juga melakukan kritik teks yang tajam dengan jangkauan
naskah sebanyak mungkin. Berkatnya dapat diketahui metode filologi yang
digunakan pada saat itu. Kegiatan filologi juga diterapkan pada naskah-naskah
yang dihasilkan penulis dari daerah itu. Timur Tengah dikenal memiliki dokumen
lama berisi nilai-nilai agung. Sebelum kedatangan Islam, Timur Tengah telah
memiliki karya sastra yang mengagumkan. Setelah kedatangan Islam pun karya
sastra mistik Islam berkembang maju. Kedatangan bangsa Barat di kawasan ini
menyebabkan karya sastra mereka dikenal dunia Barat. Meluasnya kekuasaan dinasti
Umayah ke Spanyol dan Andalusia membawa ilmu pengetahuan Yunani yang telah
diserap bangsa Arab kembali ke Eropa dengan baju Islam. Hingga Bahasa Arab
dipelajari sebagai alat untuk mempelajari naskah-naskah yang ditulis dalam
bahasa tersebut. Terdapat pusat studi ketimuran di berbagai tempat di Eropa
yang menghasilkan ahli-ahli dalam mengkaji naskah-naskah Timur Tengah.
6. Filologi Dinasti
Abbasiyah dan Masa Keemasan Islam
Pada zaman dinasti
Abbasiyah, dalam pemerintahan khalifah Mansur (754-775), Harun Alrasyid
(786-809), dan Makmun (809-833) studi naskah dan ilmu pengetahuan Yunani makin
berkembang dan puncak perkembangannya itudalam pemerintahan Makmun. Di dalam
istananya terkumpul sejumlah ilmuwan dari negara lain: mereka beljr ilmu
geometri, astronomi, teknik dan musik. Mereka mendapat pelayanan yang baik,
dibangunkan pusat studi yan diberi nama Bait al-Hikmah (Lembaga
Kebijaksanaan), yang dilengkapi dengan perpustakaan dan observatorium. Pada
waktu itu dikenal tiga penerjemah kenamaan, bernama Qusta bin Luqa, Hunain bin
Ishaq dan Hubaisyi, ketiga-tiganya beragama Nasrani. Hunain merupakan
penerjemah yang paling luas ilmu pengetahuannya, menguasai bahasa Arab, Yunani,
Persia: bahasa ibunya sendiri bahasa Arab. Sejak umur 7 tahun dia sudah menjadi
penerjemah kedalam bahasa-bahasa tersebut. Mungkin ketrampilannya diperoleh
karena dia tinggal di daerah multilingual. Dia mendirikan lembaga penerjemah di
Bagdad, akan tetapi tidak jelas apakah kegiatan penerjemahanitu dari
naskah-naskah Yunani atau dari terjemahannya dalam bahasa siria. Di waktu itu
masih banyak tersimapan di daerahnya naskah-naskah Yunani dan Hunain sendiri
rajin mencari naskah-naskah lama Yunani sampai ke Mesir, Siria, Palestina dan
Mesopotamia. Hunain menyusun daftar naskah Yunani yang telah di terjemahkan ke
dalam bahasa Siria dan Arab , disertai nama para penerjemahnya dan untuk siapa
naskah itu diterjemahkan. Disamping itu Hunain juga menyertaka kritik Hunain
terhadap hasil terjemahan orang lain sangat tajam. Dengan demikian dapat diketahui
metode filologi yang digunakan pada waktu abad ke-9 di kawasan Timur Tengah. Di
samping melakukan telaah terhadap naskah-naskah Yunani, para ahli filologi di
kawasan Timur Tengah juga menerapkan teori filologi terhadapnaskah-naskah yang
dihasilkan oleh penulis-penulis dari daerah itu.
7. Perkembangan
Filologi Zaman Dinasti Abbasiyah dan Pasca Keruntuhannya
Bangsa-bangsa di Timur
Tengah memang dikenal sebagai bangsa yang memiliki dokumen lama yang berisi
nilai-nilai yang agung, seperti karya tulis yang di hasilkan oleh bangsa Arab
dan Persia. Sebelum kedatangan agama Islam, kedua bangsa ini telah memiliki
karya sastra yang mengagumkan, dlam bentuk prosa dan puisi misalnya Mu’allaqat dan Qasidah pada
bangsa Arab. Setelah Islam berkembang, kegiatan meluas di kawasan di luar
negara Arab , serta mistik Islam berkembang dengan maju di daerah Persia pada
abad ke-10 hingga abad ke-13. Karya sastra mistik yang masyhur misal Mantiq
al-Tair susunan Farid al-Din Al-Tar, Mathnawi ima’nawi karya Jalal al-Din al-Rumi,
Tarjuman al-Asywaqtulisan Ibn al-Arabi. Puisi-puisi penyair Persia terkenal
Umar Khayyam serta cerita Seribu Satu Malam hingga saat ini masih banyak
dikenal di dunia Barat dan berkali-kali diterjemahkan dalam bahasa-bahasa Barat
dan bahasa-bahasa Timur.
Kedatangan bangsa Barat di kawasan Timur Tengah
membuka kegiatan filologi terhadap karya tersebut, sehingga isi kndungan
naskah-naskah itu dikenal di dunia Barat dan banyak yang menarik perhatian
orientalis Barat. Maka banyaklah teks yang diteliti oleh mereka serta kemudian
banyaklah naskah yang mengalir ke pusat-pusat studi dan koleksi naskah di
Eropa. Kajian filologi terhadap naskah-naskah tersebut banyak dilakukan di
pusat-pusat kebudayaan ketimuran di kawasan Eropa dan hasil kajian itu berupa
teori-teori mengenai kebudayaan dan sastra Arab, Persi, Siria, Turki dan lain
sebagainya.
8. Filologi di Kawasan
Asia : India
Sejak beberapa abad sebelum Masehi, bangsa Asia telah
memiliki peradaban yang tinggi. Sejak mengenal huruf, sebagian besar kebudayaan
mereka ditulis dalam bentuk naskah yang member banyak informasi mengenai
kehidupan mereka di masa lampau. Diantara bangsa Asia yang dipandang memiliki
dokumen masa lampau adalah India. Penelitian terhadap India menunjukkan adanya
kontak secara langsung dengan Yunani pada zaman Raja Iskandar Zulkarnain yang
melakukan perjalanan sampai India pada abad ke-3. Terlihat adanya perpaduan
dengan kebudayaan Yunani pada bentuk patung dan nilai-nilai ilmunya. Sejak abad
ke-1 mulai terjadi kontak langsung bangsa India dengan Cina. Sekelompok pendeta
Buddha mengadakan perjalanan dakwah ke Cina, dan sesudah itu musafir Cina
berziarah ke tempat-tempat suci agama Buddha di India. Dalam perjalanan itu,
mereka sempat menerjemahkan naskah-naskah India ke dalam bahasa Cina. Bahkan
ada ringkasan delapan bab ilmu kedokteran India dalam bahasa Cina. Kontak
antara bangsa India dengan Timur Tengah mungkin terjadi sejak awal sebelum
bertemu dengan bangsa lain. Kemungkinan ini sangat kuat mengingat letak
geografis kedua kebudayaan besar ini berdekatan tanpa terbatas kondisi alam
tertentu. Sayangnya belum didapati keterangan yang memadai dari sedikit dokumen
yang menunjukkan kontak antara keduanya. Hanya terdapat terjemahan naskah India
ke dalam bahasa Persi dan catatan musafir Arab-Persi mengenai beberapa aspek
kebudayaan India dalam kunjungannya ke tempat tersebut. Naskah India yang
dipandang paling tua berupa kesusastraan Weda, ialah kitab suci agama Hindu
yang disusun mungkin pada abad ke-6 s.M. Setelah periode Weda disusunlah naskah-naskah
kitab suci lain. Selain naskah dengan nilai agama dan filsafat, ada uga naskah
lama India yang berisi wiracarita misalnya Mahabarata dan Ramayana serta karya
yang berisi ilmu pengetahuan seperti ilmu kedokteran, tatabahasa, hukum, dan
politik. Telaah Filologi terhadap naskah-naskah India baru dilakukan setelah
adanya kontak dengan bangsa Barat, yaitu setelah ditemukannya jalan laut ke
India. Proses mengenal kubudayaan India bertahap, mulai dari bahasa daerah,
bahasa Sansekerta, baru kemudian ditemukan kitab Weda. Sejak itu lah kegiatan
filologi terhadap naskah India semakin berkembang dan membuahkan hasil yang
sangat berarti seperti berbagai kamus dan tatabahasa Sansekerta .
9. Filologi di Kawasan
Nusantara
Nusantara merupakan kawasan yang memiliki peradaban tinggi dan
diwariskan secara turun-temurun melalui berbagai media, antara lain media
tulisan yang berupa naskah-naskah. Kawasan Nusantara terbagi dalam banyak
kelompok etnis yang masing-masing memiliki bentuk kebudayaan yang khas, tanpa
meninggalkan kekhasan kebudayaan Nusantara. Naskah-naskah Nusantara mulai
timbul dengan hadirnya bangsa Barat di kawasan ini pada abad ke-16.
Pertama-tama yang mengetahui naskah-naskah lama itu adalah para pedagang.
Mereka menilai naskah-naskah itu sebagai barang dagangan yang mendatangkan
untung yang besar sehingga mereka mengumpulkan naskah-naskah itu dari
perorangan atau dari tempat-tempat koleksi, seperti pesantren atau kuil-kuil,
kemudian mereka membawanya ke Eropa, kemudian menjualnya kepada perorangan
ataupun kepada lembaga-lembaga yang mengoleksi naskah-naskah lama. Seorang yang
dikenal bergerak dalam usaha perdagangan naskah adalah Peter Floris atau Peter
Willemz. Van Elbinck yang pernah tinggal di Aceh pada tahun 1604 mempunyai
sebuah naskah kemudian menjualnya kepada Thomas Erpenius. Nama lain yang
dikenal menerima naskah-naskah Nusantara dari para pedagang yaitu Edward
Picocke yang memiliki naskah Hikayat Sri Rama tertua.
Pada tahun 1629, 33 tahun setelah tibanya kapal Belanda pertama di
kepulauan Nusantara, terbitlah terjemahan Alkitab yang pertama dalam bahasa
Melayu. Dr.Melchior Leijdecker (1645-1701), yaitu seorang penginjil yang
menaruh minat terhadap naskah-naskah Melayu menerjemahkan Beibel kedalam bahasa
Melayu. Penginjil lain yang dikenal akrab dengan bahasa dan kesastraan Melayu
adalah G.H.Werndly, yang mengarang buku berjudul Maleische Spraakkunst (1736),
di dalam lampirannya diberi nama “Malaische Boekzaal” dia menysun daftar
naskah-naskah Melayu yang dikenalnya sebanyak 69 naskah.
Kajian terhadap naskah-naskah filologi Nusantara bertujuan untuk
menyunting, membahas serta menganalisisnya, atau untuk kedua-duanya. Inilah
kegiatan awal dari kehadiran tenaga penginjil yang dikirim oleh NBG ke
Indonesia. Pada tahap awalnya kajian itu terutama untuk tujuan penyuntingan
akan tetapi tenaga masih terbatas sehingga kegiatan itu diarahkan untuk naskah
Jawa dan Melayu. Hasil suntingan pada umumnya berupa penyajian teks dalam huruf
aslinya, ialah huruf Jawa, huruf pegon atau huruf Jawi, dengan disertai
pengantar atau pendahuluan yang sangat singkat, tanpa analisis isinya, misalnya
suntingan Ramayana Kakawin oleh H. Kern (1900), dan Syair Bidasari
oleh Hoevell (1843).
Perkembangan selanjutnya, naskah itu disunting dalam bentuk
translasi dalam bentuk huruf Latin, misalnya Wrettasantjaja (1849), Ardjoena
Wiwaha (1850), dan Bomakawya (1850).
Dalam perkembangan selanjutnya suntingan naskah sudah disertai
dengan terjemahannya dalam bahasa asing, terutama bahasa Belanda, misalnya Sang
Hyang Kamahayanikan, Oud-Javaansche tekst met inleiding, vertaling en
aanteekeningen oleh J. Kats (1910). Suntingan naskah pada abad ke-20
umumnya disertai dengan terjemahan dalam bahasa Inggris atau Belanda, bahkan
ada yang diterbitkan hanya terjemahannya, misalnya Sejarah Melayu oleh
Leyden (1821).
Pada pertenganhan abad ke-20, suntingan naskah dengan kritik teks
banyak dilakukan sehingga menghasilkan suntingan yang lebih mantap daripada
suntingan sebelumnya. Terbitan jenis ini banyak disertai terjemahan dalam
bahasa Inggris, Belanda, atau Jerman. Contoh naskah dalam perkembangan ini
seperti Het Boek der Duizend Vragen oleh G.F. Pijper (1924) berdasarkan
naskah Hikayat Seribu Masalah, Shair Ken Tambunan oleh Teeuw (1966),
Hikayat Merong Mahawangsa oleh Siti Hawa Soleh (1970), Arjuna-wiwaha
oleh S. Supomo (1977). Pada abad ini pula muncul terbitan ulangan dari naskah
yang pernah disunting sebelumnya dengan maksud untuk menyempurnakan, misalnya
terbitan sebuah Primbon Jawa dari abad ke-16. Pertama, dikerjakan oleh Gunning
(1881) dengan metode diplomatik, kemudian pada tahun 1921 disunting lagi oleh
H. Kraemer dengan judul Een Javaansche Primbon uit de Zestiende Eeuw,
dan kemudian pada tahun 1954 diterbitkan lagi oleh C.W.J. Drewes dengan judul
yang sama.
Selanjutnya banyak diterbitkan naskah keagamaan, baik naskah Melayu
maupun naskah Jawa sehingga kandungan isinya dapat dikaji oleh ahli teologi dan
dapat menghasilkan karya ilmiah dalam bidang tersebut. Adapula yang mengkaji
naskah-naskah sejarah oleh para ahli sejarah seperti suntingan yang dikerjakan
oleh Teuku Iskandar berjudul De Hikajat Atjeh (1959) berdasarkan naskah
Hikayat Aceh.
Pada periode mutakhir, mulai dirintis telaah naskah-naskah Nusantara
dengan analisis berdasarkan ilmu Barat, misalnya analisis struktur dan amanat
terhadap naskah Hikayat Sri Rama dikerjakan oleh Achadiati Ikram berjudul Hikayat
Sri Rama Suntingan Naskah Disertai Telaah Amanat dan Struktur (1980).
Dengan telah dikenalinya dan tersedianya suntingan sejumlah
naskah-naskah Nusantara maka terbukalah kemungkinan menyusun sejarah kesastraan
Nusantara atau kesastraan daerah. Sehingga mendorong berbagai kegiatan ilmiah
yang hasilnya dimanfaatkan oleh berbagai disiplin ilmu, terutama disiplin
humaniora dan disiplin ilmu-ilmu sosial.
Tokoh-Tokoh
Filologi Nusantara :
1. Husein
Djayadiningrat // Critische Beschouwing Wan De Sadjarah Banten (1913), berdasarkan
naskah Babad Banten.
2. R.M.Ng.
Poerbatjaraka // Arjuna-Wiwaha (1926) .
3. Teuku
Iskandar // De Hikajat Atjeh (1959).
4. Naguib
Al-Attas // The Mysticism Of Hamzah Fansuri (1970), dari buku Hamzah
Fansuri.
5. Siti
Soleh // Hikayat Merong Mahawangsa (1970).
6. Haryati
Soebadio // Jnānasiddhanta (1971).
7.
S.
Soebardi // The Boek Of Cabolek (1975), berdasarkan naskah Serat
Cabolek.
8. S.
Supomo // Arjuna-Wiwaha (1977).
9. Edi Ekajati
// Cerita Dipati Ukur (1978), dari naskah sejarah tradisional Sunda.
10. Herman Sumantri
// Sejarah Sukapura (1979), dari naskah sejarah tradisional Sunda.
11. Sulastin
Sutrisno // Hikayat Hang Tuah; Analisis Struktur Dan Fungsi (1979).
12. Achadiati
Ikram // Hikyat Sri Rama Suntingan Naskah Disertai Telaah Amanat Dan
Struktur (1980).
13. Prof. R.
Prijana.
14. Nabilah
Lubis // Syech Yusuf Al-Taj Al-Makassari, Menyingkap Intisari Segala Rahasia
Sumber:
Baried, Siti Baroroh.
1994.Pengantar Teori Filologi.Yogyakarta: Badan Penelitian dan Publikasi
Fakultas.